Ketenagakerjaan

Kesenjangan Akses Terhadap Pekerjaan di Sektor Formal Semakin Meningkat

“ Pada tahun 2012, akses terhadap kesempatan kerja formal untuk kelompok masyarakat miskin (20% termiskin) 40% lebih rendah daripada kelompok masyarakat kaya (20% terkaya). Kesenjangan ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode pra-reformasi. ”

Secara umum, pasar tenaga kerja di Indonesia menunjukkan perbaikan, yang ditunjukkan dengan tingkat pengangguran yang memiliki kecenderungan menurun, meskipun dengan percepatan yang melambat. Namun, perluasan kesempatan kerja tersebut tidaklah cukup bila tidak disertai dengan peningkatan kualitas pekerjaan yang tersedia, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Salah satu indikator yang dapat dipakai untuk melihat kualitas pekerjaan dalam pasar tenaga kerja adalah kontribusi sektor formal dalam penyerapan tenaga kerja. Pekerjaan di sektor formal secara umum diharapkan memberikan tingkat upah dan perlindungan tenaga kerja yang lebih baik di bandingkan pekerjaan di sektor informal.

Penyerapan tenaga kerja di sektor formal, di Indonesia, secara umum, memiliki kecenderungan yang positif, dari 32% di tahun 1992 menjadi 40 % ditahun 2012. Peningkatan tersebut terutama terjadi di 5 tahun terakhir, setelah melewati stagnasi di tahun 2001-2006.

Namun, perkembangan yang positif dari pasar tenaga kerja secara agregat tersebut ternyata menyembunyikan beberapa hal yang cukup fundamental dan nyaris luput dari perhatian publik.

Perkembangan pasar tenaga kerja yang berkeadilan seharusnya memberikan kesempatan yang sama untuk akses terhadap pekerjaan di sektor formal untuk semua penduduk dari berbagai kelompok pendapatan. Namun, perhitungan tingkat formalitas berdasarkan kelompok pengeluaran rumah tangga menunjukkan hal yang sebaliknya.

Proporsi orang yang bekerja di sektor formal untuk kelompok 20 % terkaya jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok 20 persen termiskin. Lebih parahnya, kesenjangan ini terus meningkat, terutama setelah era reformasi. Sebagai gambaran, pada tahun 1992, 57% persen pekerja dari golongan 20% terkaya bekerja di sektor formal, sementara hanya 22% pekerja dari kelompok mayarakat termiskin yang bekerja di sektor formal. Pada tahun 2012, perbedaan tesebut menjadi 65 persen untuk golongan terkaya dan 22 persen untuk gologan termiskin.

Kecenderungan kenaikan trend kesenjangan akses terhadap sektor formal terjadi baik di level nasional maupun di perkotaan dan perdesaan. Perbedaan tersebut jauh lebih besar dan semakin senjang di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan. Di perkotaan pada tahun 2012, misalnya, 71% pekerja dari kelompok terkaya bekerja di sektor formal dan hanya 37% pekerja dari golongan masyarakat termiskin yang bekerja di sektor formal, sementara pada tahun 1992 perbandingannya adalah 66% dan 44%.

Walaupun perlu dikaji lebih lanjut secara akademis, terdapat beberapa hipotesis yang mungkin menjelaskan kecenderungan semakin senjangnya aksesibilitas terhadap pekerjaan di sektor formal. Yang pertama adalah peraturan ketenagakerjaan yang jauh lebih ketat pada era setelah reformasi. Kedua, rendahnya rata-rata pendidikan penduduk miskin, dimana 90% penduduk miskin yang bekerja memiliki pendidikan tertinggi hanya setingkat sekolah dasar dan bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan. Alasan lain yang cukup logis untuk dikemukakan adalah kebijakan pemerintah yang tidak pro industri padat karya, bahkan di sektor industri pengolahan, hampir 90% industri pengolahan di Indonesia merupakan sektor yang dikategorikan sebagai sektor UKM dengan struktur tenaga kerja yang kurang terampil dan balas jasa yang rendah.

Komentar Anda (Belum ada Komentar...)

Beri Komentar